Jean Henri Dunant (8 Mei 1828 – 30 Oktober 1910), yang juga
dikenal dengan nama Henry Dunant, adalah pengusaha dan aktivis sosial
Swiss. Ketika melakukan perjalanan untuk urusan bisnis pada tahun 1859,
dia menyaksikan akibat-akibat dari Pertempuran Solferino, sebuah lokasi
yang dewasa ini merupakan bagian Italia. Kenangan dan pengalamannya itu
dia tuliskan dalam sebuah buku dengan judul
A Memory of Solferino (Kenangan Solferino), yang menginspirasi pembentukan
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) pada tahun 1863.
Konvensi Jenewa 1864 didasarkan pada gagasan-gagasan Dunant. Pada tahun 1901, dia menerima
Penghargaan Nobel Perdamaian yang pertama, bersama dengan
Frédéric Passy.
Masa muda dan pendidikan Dunant
Dunant lahir di Jenewa, Swiss, putra pertama dari pengusaha
Jean-Jacques Dunant dan istrinya Antoinette Dunant-Colladon. Keluarganya
adalah penganut mashab Kalvin (
''Calvinist'')
yang taat serta mempunyai pengaruh yang signifikan di kalangan
masyarakat Jenewa. Kedua orangtuanya menekankan pentingnya nilai
kegiatan sosial. Ayahnya aktif membantu anak yatim-piatu dan narapidana
yang menjalani bebas bersyarat, sedangkan ibunya melakukan kegiatan
sosial membantu orang sakit dan kaum miskin.
Dunant tumbuh pada masa kebangkitan kesadaran beragama yang dikenal dengan nama
Réveil. Pada usia 18 tahun, dia bergabung dengan Perhimpunan Amal Jenewa (
''Geneva Society for Alms Giving''). Pada tahun berikutnya, bersama teman-temannya, dia mendirikan perkumpulan yang disebut
”Thursday Association”,
sebuah kelompok anak muda tanpa ikatan keanggotaan resmi yang melakukan
pertemuan rutin untuk mempelajari Bibel dan menolong kaum miskin. Waktu
senggangnya banyak dia habiskan untuk mengunjungi penjara dan melakukan
kegiatan sosial. Pada tanggal 30 November 1852, Dunant mendirikan
cabang
YMCA
di Jenewa. Tiga tahun kemudian, dia berpartisipasi dalam pertemuan
Paris yang bertujuan membentuk YMCA menjadi sebuah organisasi
internasional.
Pada tahun 1849, ketika berusia 21, Dunant terpaksa meninggalkan
Kolese Kalvin (Collège Calvin) karena prestasi akademisnya buruk. Dia
kemudian menjadi pekerja magang di perusahaan penukaran uang bernama
Lullin et Sautter. Setelah masa magangnya selesai dengan prestasi baik, dia diangkat sebagai karyawan bank tersebut.
Aljazair
Pada tahun 1853, Dunant mengunjungi Aljazair, Tunisia, dan Sisilia
karena ditugaskan oleh perusahaan yang melayani “wilayah-wilayah jajahan
Setif”, yaitu perusahaan bernama
Compagnie genevoise de Colonies de Sétif.
Meskipun pengalamannya kurang, Dunant berhasil menyelesaikan penugasan
tersebut dengan memuaskan. Terinspirasi oleh pengalaman perjalanan
tersebut, Dunant untuk pertama kalinya menulis sebuah buku, yang dia
beri judul
Notice sur la Régence de Tunis (Kisah tentang Regensi di Tunisia). Buku ini diterbitkan pada tahun 1858.
Pada tahun 1856, Dunant mendirikan perusahaan yang beroperasi di
wilayah-wilayah jajahan luar negeri dan, setelah memperoleh konsesi
lahan dari Aljazair yang ketika itu berada di bawah pendudukan Prancis,
dia juga mendirikan perusahaan perkebunan dan perdagangan jagung bernama
Société financière et industrielle des Moulins des Mons-Djémila
(Perusahaan Keuangan dan Industri Penggilingan Mons-Djémila). Namun,
lahan dan hak atas air yang dijanjikan tidak kunjung ditetapkan dengan
jelas, sedangkan otoritas kolonial di Aljazair juga bersikap kurang
kooperatif. Oleh karena itu, Dunant memutuskan untuk meminta bantuan
secara langsung kepada Kaisar
Napoleon III dari Perancis,
yang ketika itu sedang berada di Lombardi bersama pasukannya. Prancis
sedang berperang di pihak Piedmont-Sardinia melawan Austria, yang ketika
itu menduduki banyak dari wilayah yang dewasa ini bernama Italia.
Markas Napoleon terletak di kota kecil bernama
Solferino.
Dunant menulis sebuah buku yang isinya penuh sanjungan dan pujian bagi
Napoleon III untuk dia hadiahkan kepada kaisar tersebut. Kemudian dia
melakukan perjalanan ke Solferino untuk bertemu secara pribadi dengan
Napoleon III.
Pertempuran Solferino
Dunant tiba di Solferino pada petang hari tanggal 24 Juni 1859, tepat
ketika pertempuran antara kedua pihak tadi baru saja selesai. Sekitar
38 ribu prajurit bergeletakan di medan tempur dalam keadaan terluka,
sekarat, atau tewas, dan tidak tampak ada upaya yang berarti yang
dilakukan untuk memberikan perawatan kepada mereka. Dalam keadaan
terguncang melihat pemandangan itu, Dunant berinisiatif mengerahkan
penduduk sipil setempat, terutama kaum perempuan, untuk memberikan
pertolongan kepada para prajurit yang terluka dan sakit. Karena
persediaan alat-alat dan obat-obatan yang diperlukan tidak memadai,
Dunant sendiri mengatur pembelian material yang dibutuhkan itu serta
membantu mendirikan rumah sakit darurat. Dia berhasil meyakinkan
penduduk setempat untuk melayani para korban luka tanpa melihat di pihak
mana mereka bertempur, sesuai dengan slogan
“Tutti fratelli”
(Kita semua bersaudara) yang diciptakan oleh kaum perempuan dari kota
Castiglione delle Stiviere tak jauh dari tempat itu. Dia juga berhasil
membujuk pihak Prancis untuk membebaskan dokter-dokter Austria yang
mereka tawan.
Palang Merah
Sekembalinya ke Jenewa pada awal bulan Juli, Dunant memutuskan
menulis sebuah buku tentang pengalamannya itu, yang kemudian dia beri
judul
Un Souvenir de Solferino (Kenangan Solferino). Buku ini
diterbitkan pada tahun 1862 dengan jumlah 1.600 eksemplar, yang dicetak
atas biaya Dunant sendiri. Dalam buku ini, Dunant melukiskan pertempuran
yang terjadi, berbagai ongkos pertempuran tersebut, dan keadaan
kacau-balau yang ditimbulkannya. Dia juga mengemukakan gagasan tentang
perlunya dibentuk sebuah organisasi netral untuk memberikan perawatan
kepada prajurit-prajurit yang terluka. Buku ini dia bagikan kepada
banyak tokoh politik dan militer di Eropa.
Dunant juga memulai perjalanan ke seluruh Eropa untuk mempromosikan
gagasannya. Buku tersebut mendapat sambutan yang sangat positif.
Presiden
Geneva Society for Public Welfare (Perhimpunan Jenewa untuk Kesejahteraan Umum), yaitu seorang ahli hukum bernama
Gustave Moynier,
mengangkat buku ini beserta usulan-usulan Dunant di dalamnya sebagai
topik pertemuan organisasi tersebut pada tanggal 9 Februari 1863. Para
anggota organisasi tersebut mengkaji usulan-usulan Dunant dan memberikan
penilaian positif. Mereka kemudian membentuk sebuah Komite yang terdiri
atas lima orang untuk menjajaki lebih lanjut kemungkinan mewujudkan
ide-ide Dunant tersebut, dan Dunant diangkat sebagai salah satu anggota
Komite ini. Keempat anggota lain dalam Komite ini ialah Gustave Moynier,
jenderal angkatan bersenjata Swiss bernama
Henri Dufour, dan dua orang dokter yang masing-masing bernama
Louis Appia dan
Théodore Maunoir.
Komite ini mengadakan pertemuan yang pertama kali pada tanggal 17
Februari 1863, yang sekarang dianggap sebagai tanggal berdirinya
Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Dari awal, Moynier dan Dunant saling berbeda pendapat dan bertikai
menyangkut visi dan rencana mereka masing-masing, dan ketidaksepahaman
mereka itu semakin lama semakin besar. Moynier menganggap ide Dunant
tentang perlunya ditetapkan perlindungan kenetralan bagi para pemberi
perawatan sebagai gagasan yang sulit diterima akal serta menasihati
Dunant untuk tidak bersikeras memaksakan konsep tersebut. Namun, Dunant
terus menganjurkan pendiriannya itu dalam setiap perjalanannya dan dalam
setiap pembicaraannya dengan pejabat-pejabat politik dan militer
tingkat tinggi. Ini semakin mempersengit konflik pribadi antara Moynier,
yang memakai pendekatan pragmatis terhadap proyek tersebut, dan Dunant,
yang merupakan idealis visioner di antara kelima anggota Komite itu.
Pada akhirnya, Moynier berusaha menyerang dan menggagalkan Dunant ketika
Dunant mencalonkan diri untuk posisi ketua Komite.
Pada bulan Oktober 1863, 14 negara berpartisipasi dalam pertemuan
yang diselenggarakan oleh Komite tersebut di Jenewa untuk membahas
masalah perbaikan perawatan bagi prajurit terluka. Namun, Dunant sendiri
hanya menjadi ketua protokoler dalam pertemuan tersebut sebagai akibat
dari usaha Moynier untuk memperkecil perannya. Setahun kemudian, pada
tanggal 22 Agustus 1864, sebuah konferensi diplomatik yang
diselenggarakan oleh Parlemen Swiss membuahkan hasil berupa
ditandatanganinya
Konvensi Jenewa Pertama oleh 12 negara. Untuk konferensi ini pun, Dunant hanya bertugas sebagai pengatur akomodasi bagi peserta.
Masa yang terlupakan
Bisnis Dunant di Aljazair mengalami kemunduran, sebagian karena
devosinya pada cita-cita humanistiknya sendiri. Pada bulan April 1867,
bangkrutnya perusahaan keuangan
Crédit Genevois mengakibatkan
sebuah skandal yang melibatkan Dunant. Dia dipaksa menyatakan pailit dan
divonis bersalah oleh Pengadilan Dagang Jenewa pada tanggal 17 Agustus
1868 atas praktik penipuan dalam kasus kebangkrutan tersebut.
Keluarganya dan banyak dari teman-temannya sangat terkena dampak dari
bankrutnya
Crédit Genevois karena mereka banyak berinvestasi
dalam perusahaan ini. Masyarakat di Jenewa, sebuah kota dengan tradisi
Kalvin yang berakar mendalam, menjadi gusar dan heboh sehingga muncul
seruan-seruan agar Dunant mengundurkan diri dari Komite Internasional
Palang Merah.
Pada tanggal 25 Agustus 1868, dia mengundurkan diri dari jabatannya
sebagai Sekretaris Komite dan, pada tanggal 8 September, dia dikeluarkan
sepenuhnya dari Komite. Moynier, yang menjadi Presiden Komite sejak
1864, berperan besar dalam menyingkirkan Dunant dari Komite.
Pada bulan Februari 1868, ibu Dunant meninggal dunia. Pada akhir
tahun itu, Dunant juga dikeluarkan dari YMCA. Pada bulan Maret 1867, dia
meninggalkan kota kelahirannya, Jenewa, dan tidak pernah kembali lagi
ke sana. Pada tahun-tahun berikutnya, Moynier tampaknya berusaha
mempergunakan pengaruhnya untuk memastikan bahwa Dunant jangan sampai
menerima bantuan atau dukungan dari teman-temannya. Misalnya, hadiah
medali emas
Sciences Morales di Pekan Raya Dunia Paris tidak jadi
diberikan kepada Dunant sesuai rencana semula, tetapi diberikan kepada
Moynier, Dufour, dan Dunant bersama-sama sehingga seluruh uang hadiah
tersebut menjadi hak Komite. Tawaran Napoleon III untuk mengambilalih
separuh dari kewajiban utang Dunant dengan syarat teman-teman Dunant
menjamin pelunasan yang separuh lagi juga digagalkan oleh usaha Moynier.
Dunant pindah ke Paris dan hidup di sana dalam keadaan berkekurangan.
Namun, dia terus berupaya mewujudkan gagasan dan rencana
kemanusiaannya. Selama berlangsungnya Perang Prancis-Prusia (1870-1871),
dia mendirikan Perhimpunan Bantuan Kemanusiaan Bersama (
''Allgemeine Fürsorgegesellschaft'') dan, tak lama setelah itu, dia mendirikan Aliansi Bersama untuk Ketertiban dan Peradaban (
''Allgemeine Allianz für Ordnung und Zivilisation'').
Dunant berargumen tentang perlunya diadakan perundingan perlucutan
senjata dan perlunya didirikan sebuah pengadilan internasional untuk
memediasi konflik internasional. Kemudian, dia mengupayakan terbentuknya
perpustakaan dunia, sebuah gagasan yang mempunyai gema dalam berbagai
proyek di kemudian hari, antara lain
UNESCO.
Dalam usahanya yang tak pernah berhenti untuk menganjurkan dan
mewujudkan gagasan-gagasannya, Dunant semakin mengabaikan situasi
keuangan pribadinya sehingga dia semakin terlilit utang dan dijauhi oleh
kenalan-kenalannya. Meskipun diangkat sebagai anggota kehormatan
Perhimpunan Palang Merah Austria, Belanda, Swedia, Prusia, dan Spanyol,
dia nyaris dilupakan dalam perjalanan resmi Gerakan Palang Merah, pun
ketika Gerakan ini berkembang pesat ke negara-negara lain. Dunant hidup
dalam kemiskinan dan berpindah-pindah tempat antara 1874-1886, termasuk
Stuttgart, Roma, Korfu, Basel, dan Karlsruhe. Di Stuttgart, Dunant
bertemu mahasiswa Universitas Tübingan (Tübingen University) bernama
Rudolf Müller
dan kemudian bersahabat karib dengannya. Pada tahun 1881, bersama-sama
dengan sejumlah teman dari Stuttgart, Dunant untuk pertama kalinya pergi
ke Heiden, sebuah desa peristirahatan di Swiss. Pada 1887, ketika
tinggal di London, dia mulai menerima bantuan keuangan bulanan dari
sejumlah kerabat jauh. Ini memungkinkan dia untuk hidup dalam kondisi
keuangan yang lebih aman. Dunant pindah ke Heiden pada bulan Juli 1887
dan tinggal di desa tersebut selama sisa hidupnya. Sejak 30 April 1892,
dia tinggal di rumah sakit dan panti jompo yang dipimpin oleh Dr.
Hermann Altherr.
Di Heiden, dia bertemu dengan seorang guru muda bernama Wilhelm
Sonderegger dan istrinya Susanna. Mereka mendorongnya untuk mencatat
pengalaman hidupnya. Istri Sonderegger mendirikan cabang Palang Merah di
Heiden dan, pada tahun 1890, Dunant menjadi presiden kehormatan cabang
tersebut. Dengan adanya Sonderegger, Dunant berharap akan dapat
mempromosikan gagasan-gagasannya lebih lanjut, termasuk menerbitkan
edisi baru bukunya. Namun, persahabatan mereka di kemudian hari menjadi
tegang karena Dunant melontarkan tuduhan yang tak dapat dibenarkan bahwa
Sonderegger, bersama Moynier di Jenewa, berkonspirasi menentangnya.
Sonderegger meninggal pada tahun 1904, di usianya yang baru mencapai 42
tahun. Meskipun hubungan mereka tegang, Dunant sangat terharu dengan
kematian Sonderegger yang tak terduga-duga itu. Kekaguman Wilhelm dan
Susanna Sonderegger atas Dunant, yang tetap mereka rasakan walaupun
Dunant melontarkan tuduhan tersebut, terwariskan kepada anak-anak
mereka. Pada tahun 1935, putra mereka, yaitu René, menerbitkan kumpulan
surat-surat yang ditulis Dunant kepada ayahnya.
Kembali diingat publik
Pada bulan September 1895, Georg Baumberger, editor kepala Die
Ostschweiz, sebuah surat kabar yang terbit di St. Gall, menulis sebuah
artikel tentang pendiri Palang Merah tersebut, yang pernah bertemu dan
mengobrol dengannya ketika mereka sedang berjalan-jalan di Heiden
sebulan sebelumnya. Artikel ini berjudul “Henri Dunant, pendiri Palang
Merah” (
Henri Dunant, the founder of the Red Cross) dan muncul di
sebuah majalah bergambar terbitan Jerman, Über Land und Meer. Dengan
segera artikel ini direproduksi di berbagai media lain di seluruh Eropa.
Artikel tersebut mendapat sambutan hangat sehingga Dunant kembali
memperoleh perhatian dan dukungan khalayak. Dia kemudian menerima Hadiah
Binet-Fendt Swiss dan sebuah surat dari Paus Leo XIII. Berkat bantuan
dari janda tsar Rusia, yaitu Maria Feodorovna, dan donasi lain dari
berbagai pihak, situasi keuangan Dunant sangat membaik.
Pada tahun 1897, Rudolf Müller, yang saat itu sudah bekerja sebagai
guru di Stuttgart, menulis sebuah buku tentang asal-mula Palang Merah.
Isi buku ini mengubah sejarah resmi Palang Merah dengan menekankan peran
Dunant. Buku ini juga mengikutsertakan teks “Kenangan Solferino.”
Dunant mulai berkorespondensi dengan Bertha von Suttner dan menulis
banyak sekali artikel dan tulisan lain. Dia terutama aktif menulis
tentang hak-hak kaum perempuan. Pada tahun 1897, Dunant memfasilitasi
pendirian “Green Cross” (Palang Hijau), sebuah organisasi perempuan yang
berumur singkat dan hanya aktif di Brussels.
Hadiah Nobel Perdamaian
Pada tahun 1901, Dunant menerima Hadiah
Nobel Perdamaian
pertama yang pernah dianugerahkan, yaitu atas perannya dalam mendirikan
Gerakan Palang Merah Internasional dan mengawali proses terbentuknya
Konvensi Jenewa. Dokter militer Norwegia, Hans Daae, yang pernah
menerima satu eksemplar buku tulisan Müller itu, mengadvokasikan kasus
Dunant kepada Panitia Nobel. Hadiah tersebut adalah hadiah bersama yang
diberikan kepada Dunant dan
Frédéric Passy,
seorang aktivis perdamaian Prancis yang mendirikan Liga Perdamaian dan
yang aktif bersama Dunant dalam Aliansi untuk Ketertiban dan Peradaban (
Alliance for Order and Civilization).
Ucapan selamat resmi yang akhirnya diterima Dunant dari Komite
Internasional Palang Merah merepresentasikan rehabilitasi nama Dunant:
“Tak ada yang lebih layak untuk menerima kehormatan ini, karena
Andalah yang empat puluh tahun yang lalu mendirikan organisasi
internasional bantuan kemanusiaan bagi korban luka di medan tempur.
Tanpa Anda, Palang Merah, yang merupakan prestasi kemanusiaan yang agung
abad kesembilan belas, barangkali tak akan pernah diusahakan.”
Moynier dan Komite Internasional Palang Merah secara keseluruhan juga
dinominasikan untuk Hadiah Nobel Perdamaian tersebut. Meskipun Dunant
memperoleh dukungan dari kalangan luas dalam proses seleksi, dia tetap
merupakan calon yang kontroversial. Sejumlah pihak berargumen bahwa
Palang Merah dan
Konvensi Jenewa
justru membuat perang menjadi lebih menarik dan menggoda dengan
meringankan sebagian dari penderitaan yang ditimbulkan perang. Oleh
karena itu, Müller dalam suratnya kepada Panitia Nobel menyampaikan
pendapat bahwa hadiah tersebut perlu dibagi antara Dunant dan Passy,
yang sempat menjadi calon utama untuk menjadi satu-satunya penerima
hadiah tersebut dalam perdebatan yang terjadi selama berlangsungnya
proses seleksi. Müller juga menyarankan bahwa sekiranya Dunant dianggap
layak untuk menerima Hadiah Nobel, hadiah tersebut perlu segera
diberikan kepadanya mengingat usianya yang telah lanjut dan kondisi
kesehatannya yang sudah memburuk.
Keputusan Panitia Nobel untuk membagi hadiah tersebut antara Passy,
seorang tokoh perdamaian, dan Dunant, seorang tokoh kemanusiaan, menjadi
preseden bagi persyaratan mengenai seleksi penerima Hadiah Nobel
Perdamaian yang berdampak signifikan pada tahun-tahun berikutnya. Salah
satu bagian dalam surat wasiat Nobel menyebutkan bahwa hadiah untuk
perdamaian diberikan kepada orang yang berupaya mengurangi atau
menghapuskan pasukan tetap (
standing armies) atau berupaya untuk
scara langsung mempromosikan konferensi perdamaian. Inilah yang membuat
Passy secara alamiah terpilih menjadi calon penerima hadiah tersebut
berkat usaha-usahanya di bidang perdamaian. Pemberian Hadiah Nobel untuk
usaha-usaha di bidang kemanusiaan saja akan menjadi hal yang sangat
mencolok, dan hal tersebut dianggap oleh sejumlah pihak sebagai
penafsiran yang terlalu luas atas surat wasiat Nobel. Akan tetapi, satu
bagian lain dalam surat wasiat Nobel menetapkan hadiah bagi orang yang
berprestasi terbaik dalam meningkatkan “persaudaraan antarmanusia” (
the brotherhood of people).
Ini secara lebih umum bisa ditafsirkan sebagai pesan bahwa usaha-usaha
kemanusiaan seperti yang dilakukan oleh Dunant itu juga terkait dengan
usaha-usaha perdamaian. Penerima Hadiah Nobel Perdamaian di tahun-tahun
berikutnya yang banyak jumlahnya itu dimasukkan ke dalam salah satu dari
dua kategori yang untuk pertama kalinya ditetapkan oleh keputusan
Panitia Nobel 1901 tersebut.
Hans Daae berhasil menaruh uang hadiah yang menjadi bagian Dunant,
sebesar 104.000 franc Swiss, di sebuah bank di Norwegia dan mencegah
uang tersebut diakses oleh para kreditor Dunant. Dunant sendiri tak
pernah memakai sedikit pun dari uang tersebut dalam hidupnya.
Kematian dan warisan
Di antara beberapa penghargaan lain yang diterima oleh Dunant di
tahun-tahun berikutnya ialah gelar doktor kehormatan dari Fakultas
Kedokteran
University of Heidelberg,
yang diterimanya pada tahun 1903. Dunant tinggal di panti jompo di
Heiden hingga akhir hayatnya. Pada tahun-tahun terakhir hidupnya, dia
menderita depresi dan ketakutan (paranoia) bahwa dia terus dicari-cari
oleh para kreditornya dan Moynier. Bahkan Dunant kadang-kadang mendesak
juru masak panti jompo tersebut untuk mencicipi terlebih dulu jatah
makanannya di hadapan dia agar dia terlindung dari kemungkinan diracuni.
Meskipun mengaku tetap berkeyakinan Kristen, Dunant pada tahun-tahun
terakhir hidupnya menolak dan menyerang Kalvinisme dan agama
terorganisasi (
organized religion) pada umumnya.
Menurut para juru rawatnya, tindakan terakhir yang dilakukan Dunant
dalam hidupnya ialah mengirimkan satu eksemplar buku tulisan Müller
kepada ratu Italia disertai surat pengantar dari Dunant sendiri. Dunant
meninggal dunia pada tanggal 30 Oktober 1910, dan kata-kata terakhirnya
ialah “Kemana lenyapnya kemanusiaan?” Dunant meninggal hanya dua bulan
setelah musuh bebuyutannya, Moynier. Meskipun ICRC menyampaikan ucapan
selamat kepada Dunant atas penganugerahan Hadiah Nobel tersebut, kedua
rival ini tak pernah berrekonsiliasi.
Sesuai keinginannya, Dunant dikuburkan tanpa upacara di Kompleks
Pemakaman Sihlfeld di Zurich. Dalam surat wasiatnya, dia mendonasikan
sejumlah uang untuk menyediakan satu “ranjang gratis” di panti jompo di
Heiden tersebut, yang harus selalu tersedia untuk warga miskin kawasan
itu. Dia juga memberikan sejumlah uang, melalui akte notaris, kepada
teman-temannya dan kepada organisasi amal di Norwegia dan Swiss. Sisa
uangnya dia berikan kepada para kreditornya sehingga sebagian utangnya
lunas. Ketidakmampuan Dunant untuk sepenuhnya melunasi utang-utangnya
menjadi beban besar baginya hingga hari kematiannya.
Hari ulang tahunnya, 8 Mei, dirayakan sebagai Hari Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Sedunia (
''World Red Cross and Red Crescent Day'').
Panti jompo di Heiden yang dulu menampungnya itu sekarang menjadi
Museum Henry Dunant. Di Jenewa dan sejumlah kota lain ada banyak sekali
jalan, lapangan, dan sekolah yang dinamai dengan namanya. Medali Henry
Dunant, yang dianugerahkan setiap dua tahun oleh Komisi Tetap Gerakan
Palang Merah dan Palang Merah Internasional, merupakan penghargaan
tertinggi yang dianugerahkan oleh Gerakan.
Kisah hidup Dunant diceritakan, dengan sejumlah unsur fiksi, dalam film
D'homme à hommes
(1948) yang dibintangi oleh Jean-Louis Barrault. Masa hidup Dunant
ketika Palang Merah didirikan ditampilkan dalam film produksi bersama
internasional yang berjudul
Henry Dunant: Red on the Cross
(2006). Pada tahun 2010, Takarazuka Revue menggelar drama musikal
berdasarkan pengalaman Dunant di Solferino dan proses pendirian Palang
Merah. Drama musikal ini berjudul ソルフェリーノの夜明け (Fajar di Solferino, atau
Kemana Lenyapnya Kemanusiaan?).